Usaha Sosial atau Social Enterprise, sebuah terminologi yang mulai banyak didengar di kalangan pengusaha dan aktivis di Indonesia belakangan ini. Apa yang dilakukan oleh Usaha Sosial diyakini dapat menjawab berbagai permasalahan yang ada di negeri kita, namun apakah benar? Mari kita telaah lebih lanjut.

Sampai saat ini, belum ada definisi yang baku dari Usaha Sosial. Dua kata tersebut seringkali dibaca kontradiktif:

Usaha berdasarkan KBBI berarti: (1) kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud; pekerjaan (perbuatan, prakarsa, ikhtiar, daya upaya) untuk mencapai sesuatu; (2) kegiatan di bidang perdagangan (dengan maksud mencari untung); perdagangan; perusahaan.

Sosial berdasarkan KBBI berarti: (1) berkenaan dengan masyarakat; (2) suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma, dan sebagainya).

Bagaimana bisa perusahaan yang melakukan aktifitas mencari untung namun juga menolong atau menderma demi kepentingan umum?

Usaha Sosial tetaplah berusaha layaknya perusahaan yang mencari untung, namun sebagian besar keuntungannya diinvestasikan ulang untuk memenuhi tujuan sosial dan/atau lingkungan. Karena tujuannya ini, dampak sosial dan/atau lingkungan seringkali di tempatkan diatas pertimbangan finansial semata. Demikian, Usaha Sosialharuslah dipahami sebagai gerakan yang merubah pola pikir bagi individu yang menginginkan perubahan sosial dan/atau lingkungan serta menjalankan bisnis yang berkelanjutan secara stimultan.

Usaha Sosial memang baru populer akhir-akhir ini di Indonesia, namun pendekatan yang digunakan Usaha Sosial bukanlah hal baru di dunia.

Terminologi ini mulai dikenal disaat banyak organisasi non-profit mulai menggunakan kekuatan dan pendekatan bisnis untuk membawa perubahan sosial dan/atau lingkungan dari kegiatannya. Di Inggris, Social Enterprise pun mulai dikenal di pertengahan tahun 1900an, dan disaat itu mulai banyak perusahaan yang menggunakan ‘label’ Social Enterprise namun sejatinya mereka bukanlah Social Enterprise.

Saat ini di Amerika Serikat, Social Enterprise dapat dikategorikan sebagai sektor yang sedang bertumbuh pesat yang dibuktikan dengan meningkatnya “impact investing” dari pihak investor dan “conscious consumerism” dari pihak konsumen. Peningkatan ini tidak hadir serta merta, karena dibutuhkan banyak pihak yang berpegang erat mendukung Social Enterprise, seperti pihak akademis yakni Harvard Business School yang mendirikan Social Enterprise Initiative di tahun 1993 serta pihak pemerintah dengan Social Innovation Fund yang diinisiasi di tahun 2009.

Untuk menghindari bisnis konvensional yang meng-hijack terminologi Usaha Sosial di Inggris, maka dibentuk 6 karakteristik Social Enterprise:

  • memiliki misi sosial dan/atau lingkungan dalam dokumen hukumnya
  • mayoritas pendapatannya didapat dari jual-beli (komersil)
  • menginvestasikan ulang mayoritas keuntungannya
  • otonom dan independen
  • mayoritas dikendalikan oleh kepentingan misi sosial
  • bertanggungjawab dan transparan
© Social Enterprise Alliance

Usaha Sosial vs Usaha Konvensional

Hal yang paling membedakan Usaha Sosial dengan usaha konvensional ialah perlakuan terhadap profit/keuntungan dari usahanya, dimana Usaha Sosial bekerja untuk membuat perubahan yang signifikan, menginvestasikan ulang sebagian besar keuntungan mereka (lebih dari 50%) untuk menjalankan tujuan sosial dan/atau lingkungan mereka.

Di sisi lapangan pekerjaan, seringkali pelaku Usaha Sosial juga memberikan pekerjaan kepada mereka yang tertinggal (baik karena kompetensi atau karena lokasi mereka tinggal), mereka yang turut serta aktif melestarikan lingkungan, serta memberikan jasa kepada mereka yang juga termarjinalkan.

Usaha Sosial harus dimiliki dan dikontrol berdasarkan kepentingan tujuan sosial dan/atau lingkungan. Apabila suatu Usaha Sosial berbentuk Perseroan Terbatas, kepemilikian berarti kepemilikan saham dari perusahaan tersebut. Kepemilikan mayoritas Usaha Sosial haruslah demi kepentingan sosial dan/atau lingkungan, yang dalam arti saham dapat distrukturisasi dengan jenis dan klasifikasi saham yang berbeda terhadap pihak yang menjamin kepentingan tersebut terpenuhi.

Terlebih, harus dipastikan bahwa setiap harta dari Usaha Sosial dilindungi untuk keuntungan sosial dan/atau lingkungan. Isitilah ini biasa disebut asset lock, agar adanya kepastian tidak akan ada perpindahan kepemilikan harta diluar kepentingan tujuan Usaha Sosial. Perihal ini akan dibahas lebih detail di artikel selanjutnya.

Perusahaan Ethical vs Usaha Sosial

Tidak semua perusahaan yang telah eksis dan memberikan dampak sosial ke masyarakat tergabung dalam golongan Usaha Sosial. Seperti perusahaan yang bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam dengan melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Corporate Social Responsibility). Ini merupakan kewajiban dari pemerintah untuk dilaksanakan perusahaan tersebut, yang apabila perusahaan tersebut mengikuti kewajibannya akan terhindar dari jeratan hukum dan mungkin dapat dikategorikan sebagai Perusahaan Etichal.

Kriteria dari Perusahaan Etichal sangat berbeda dan tujuan dari perusahaan seperti ini di bidang sumber daya alam ialah untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan sosial dan alam sekitar sebagai dampak dari kegiatan operasional mereka.

Perusahaan yang seperti ini tidaklah sama dengan Usaha Sosial, yang pada hakikatnya dibentuk untuk memberikan keuntungan bagi masyarakat maupun lingkungan alam sekitar tanpa ada paksaan atau kewajiban dari pemerintah melainkan atas inisiatifnya sendiri.

Sumber Dana

Di bisnis konvensional, kita dapat membagi sumber dana menjadi dua instrumen: equity atau debt. Khusus untuk Usaha sosial, selain kedua sumber tersebut, dapat menerima sumber dana lain yakni grant (hibah) dan donasi.

Equity participation (penyertaan modal) dapat diperoleh dari investor, baik dari teman, keluarga, angel investor, atau venture capital. Dikarenakan Usaha Sosial menginvestasikan ulang sebagian besar profitnya kepada misi sosial dan/atau lingkungan, maka pencarian investor tidak serta merta sama dengan bisnis konvensional. Pelaku Usaha Sosial harus mencari investor yang paham risiko berinvestasi di Usaha Sosial, dan investor yang memang mencari Usaha Sosial seringkali disebut sebagai Impact Investor.

Debt (utang)dapat diperoleh dari institusi keuangan seperti bank, micro-lending, dan institusi keuangan serupa. Bahkan, sekarang terdapat micro lending platform yang fokus terhadap sektor usaha tertentu seperti Kiva di Amerika dan Vasham di Indonesia. Hal yang harus diperhatikan dari sumber ini ialah persyaratan-persyaratan yang tidak sama antara bank dan institusi keuangan lainnya, anda perlu teliti memperhatikan persyaratan ini agar pengajuan dana tidak terkendala.

Ketiga, Grant, yang dapat berupa hibah, sumbangan, sponsorship, dan bentuk lain yang tidak mengikat layaknya equity atau debt. Sumber dana tersebut memang biasanya digunakan oleh yayasan, komunitas, atau non-profit organization, namun dikarenakan adanya misi sosial dan/atau lingkungan pada Usaha Sosial oleh karena itu hibah dapat menjadi sumber dana mereka. Parameter dari hibah biasanya diukur berdasarkan penyelesaian suatu proyek. Hibah dapat dicari di berbagai organisasi international, seperti USAID, AUSAID, YSEALI, dan lainnya.

Apapun sumber dananya, setiap pelaku Usaha Sosial perlu mengingat bahwa sumber terakhir, grant, tidak boleh menjadi pijakan utama sumber dana Usaha Sosial. Hal ini karena pada hakikatnya Usaha Sosial tetap melakukan kegiatan komersil untuk menghidupi operasional usahanya, dan grant merupakan sumber dana utama non-profit organization, bukan Usaha Sosial.

Solusi Permasalahan Pelayanan Publik

Kegiatan yang dilakukan oleh Usaha Sosial tidak hanya terikat pada kegiatan bisnis konvensional. Melainkan, mereka juga melakukan kegiatan yang seharusnya menjadi kewajiban bagi pemerintah seperti pelayanan publik.

Sebagaimana disebut oleh Peter Holbrook, Chief Executive dari Social Enterprise UK“The old ways of getting things done-public services versus charities, versus private enterprise- are starting to merge and the future is hybrid.”

Kebutuhan akan pelayanan publik yang baik serta keinginan untuk berubah tanpa tergantung pada birokrasi yang rumit dan dana yang tidak sustain dari sumbangan membuat para pelaku Usaha Sosial berusaha mendobrak dan memberikan solusi konkrit.

Di tahun 2013, William Eggers & Paul Macmillan menulis buku berjudul “The Solution Revolution”, yang pada pokoknya membahas bagaimana pelaku bisnis, pemerintah dan pelaku usaha sosial berkolaborasi untuk menjawab permasalahan yang sangat sulit di masyarakat. Dengan menghapus tembok antara public-private sector, ekonomi berbasis solusi dapat membuka kunci model bisnis baru yang berdampak sosial dan juga bernilai komersil.

Berbagai pelayanan yang seharusnya dijamin oleh pemerintah antara lain ialah: pelayanan medis terjangkau, menggunakan energi terbarukan, dan melawan kemiskinan. Hal-hal tersebut yang seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah namun menjadi peluang bagi Usaha Sosialuntuk menjawab tantangan tersebut. Terlebih, mereka hadir untuk menjawab permasalahan tersulit: melawan malaria, memberikan perumahan yang terjangkau dan edukasi kepada orang miskin.

Contoh konkrit lainnya ialah menjawab permasalahan air bersih. Bayangkan, 1:10 orang didunia atau 663 juta orang hidup tanpa air bersih. Kebutuhan air bersih tidak hanya untuk keperluan dahaga semata, namun juga untuk sanitasi. Menyadari hal ini, muncul berbagai Usaha Sosial yang menjawab permasalahan ini, contohnya ialah Jerry Bottles yang menjual reusable water bottles. Sebesar 100% profit dari penjualannya didonasikan kepada proyek air bersih di seluruh dunia.

Dalam pasar yang disebut sebagai Solution Market ini, seluruh Usaha Sosial, Non-Profit OrganizationMultinational companies berkompetisi, berkoordinasi dan berkolaborasi untuk menjawab Megaproblems. Yayasan, filantrofi dari korporat, pemerintah dan seringkali pelaku bisnis, bertindak sebagai penyandang dana, investor dan pembuat pasar (market makers).

Yang membedakan dari kolaborasi di Solution Market ini ialah tidak seperti program yang didorong oleh pemerintah yang terbatas wilayah politik, solusi seperti ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Inilah bukti bahwa kegiatan usaha berbasis solusi dapat dilakukan oleh pelaku Usaha Sosial dengan kolaborasi dengan berbagai stakeholder untuk menjawab permasalahan publik. Hal ini dibahas lebih dalam dalam buku Eggers & William tersebut.

Memulai Usaha Sosial

Untuk memulai menjalankan Usaha Sosial, anda dapat memulai untuk mengenal komunitasnya di berbagai lokasi, contohnya di coworking space seperti Coworkinc dan Kekini. Terlebih, gerakan Usaha Sosial sekarang sudah mulai marak dengan hadirnya Platform Usaha Sosial dan berbagai program inkubator bisnis seperti SIAP dan UnLtd.
(https://medium.com/@ivanlalamentik )